Abu Nuh (rahimahullah)
Sungguh, dengan meneladani kehidupan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalaam -kejujurannya dan perjuangannya atas
kebenaran- maka keimanan dalam hati seseorang menjadi kuat dan mantap.
Ibnu Qayyim rahimahullah
mengatakan dalam Madarija Salikin bahwa Junayd rahimahullah
berkata, “kisah-kisah merupakan tentara dari pasukan-pasukan Allah, yang
dengannya Dia kuatkan hati-hati orang yang mendambakan-Nya.”
Kemudian ia mengutip:
وَكُالًّ ن قَُّصُّ عَلَيْكَ مِنْ
أَنبَاءِ الرُّسُلِ مَا ن ثَُبِّتُ بِهِ ف ؤَُادَكَ
Artinya: “Dan setiap kisah yang kami
riwayatkan kepadamu dari kabar-kabar dari Rasulullah adalah untuk mengokohkan
hatimu.” [akhir ucapannya – Madarija Salikin]
Kita juga pahami bahwa dengan
mengingat kehidupan orang-orang yang shalih merupakan sumber rahman
Allah dan menguatkan keimanan kita. Tetapi jika kisah-kisah tersebut tidak
dimanfaatkan sesuai hakikatnya, hanya didengar telinga dan diucapkan lisan
saja, maka kisah-kisah tersebut akan terhapus dari ingatan dan hilang dari
sejarah, seiring bergulirnya waktu. Karenanya, semoga Allah menggolongkan kita
dengan orang-orang yang mau menyimak dan mengambil hikmah dari kisah-kisah
tersebut.
Kali ini, atas rahmat Allah, kita
akan mengupas kisah akhuna, Asy-Syahid, Mujahid dan Muhajir, Abu Nuh rahimahullah.
Ia bekerja keras mengabdikan diri dalam jihad dengan jiwa dan lisannya, seorang
ikhwan yang mengorbankan jiwanya, sehingga dapat menjadi teladan bagi
generasi berikutnya.
Ia adalah pria yang kesetaraannya
sulit ditemukan pada ummat masa kini. Ialah pria yang menyenangkan teman
yang merasakan betapa khas kehadirannya. Dengan akhlaknya, ia mencerminkan
ketulusan. Ia tinggalkan keluarga dan semua yang berharga dalam hidupnya, demi
keridhoan Allah. Ia ganti cinta duniawinya dengan cinta Ilahi yang kokoh, penuh
keyakinan akan janji Rabb-nya, bahwa Allah akan mengganti semua yang
ditinggalkannya dengan yang lebih baik.
Allah memberkahinya semasa ia hidup dan selepas
ia wafat. Ia biarkan darahnya mengalir di jalan Allah demi menebus ratusan
nyawa, menakuti musuh-musuh dan menyenangkan hati orang-orang mu’min. Ia
terlahir sebagai manusia yang bebas dan menghamba kepada Al-Malik saja.
Ia mengungguli kita lewat tekad-tekad baik dan hasil kerjanya yang memukau,
sebagai martir pendahulu kita. Ialah lelaki martir terbaik pilihan Allah dari
ummat biasa, dimana ia memilih perpisahan yang indah dengan kehidupan fana ini.
Ia fungsikan imannya secara optimal sebagai pendongkrak derajatnya di hadapan
Allah.
Pria yang kita bicarakan adalah Abu
Nuh, seorang muhajirin dan mujahid yang syahid di Ariha, Idlib , Syria pada 25
Mei 2014, saat melawan kekuatan rezim kafir bersama para Mujahidin.
Mari kita mulakan kisah heroik
beliau dengan ungkapan hati isteri tercintanya, sesaat setelah sang imam
menjemput kesyahidan:
“Aku bangga dengan suamiku. Ia suami
yang setia, ayah yang hebat dan seorang anak yang sholih. Seluruh keluarganya
bangga dan berbahagia atas kesyahidannya, kami tak dapat membayangkan apa
ketetapan yang Allah subhanahu wata’ala perjalankan baginya di kemudian hari.
Meninggalkan kami dan segala apa
yang ia miliki adalah pilihan tersulit yang telah ia ambil, namun tak
membuatnya urung mengorbankan duniawinya demi akhiratnya. Ialah pria yang
sangat lapang memberikan segala dukungan tenaga dan emosinya semasa ia hidup,
bak seorang penjaga yang siaga melindungi keluarganya. Ia membuktikan kepada
kita bagaimana ia memperjuangkan Islam tidak hanya melalui kepandaian yang
terpancar dari lisannya saja, namun juga dengan aksi yang mencerminkan semua
kata yang ia ucapkan.
Kami semua mencintainya karena
Allah…ia meninggalkan kami dalam kasih Allah subhanahu wata’ala dan siapa lagi
yang dapat mengurusi kita dengan lebih penuh kasih, selain Pencipta kita?
Semoga Allah menerimanya dan
merahmatinya derajat tertinggi di surga. Aammiin. [Akhir ucapannya]
Sungguh kalimat muqadimah yang
mengisyaratkan cinta sejati seorang hamba kepada Ilah-nya. Pun kalimat
penyaksi ruh perjuangan seorang Mardhatillah sejati dari seorang isteri
yang paling mengenali seorang Abu Nuh, hingga ke lubuk hatinya yang paling
dalam.
Sebelum
berjuang di Suriah
Sebelum berangkat ke Suriah, Abu Nuh
hidup bersama saudaranya di negara Timur Tengah selama beberapa waktu.
Saudaranya melihat Abu Nuh sangat berbeda dengan orang kebanyakan. Ia selalu
konsisten untuk shaum sunnah Senin dan Kamis, tanpa batal sekali pun. Ia
juga selalu mengajak kami melakukan yang haq dan melarang kebatilan.
Suatu hari, adik yang berusia 15
tahun menyebut temannya dengan sebutan “kafir”, gegara ribut tentang suatu
perkara. Lalu Abu Nuh lah yang pertama kali melerai mereka dan memberi tahu
adiknya. Abu Nuh menegaskan kepada sang adik betapa bahayanya julukan tersebut,
apalagi diucapkan anak kecil yang emosional begitu. Julukan “kafir” hanya boleh
digunakan pada kepada musuh Allah saja.
Demikian Abu Nuh melarang kebatilan
dan menyerukan yang haq. Ia bukanlah sosok yang hanya menyerukan
kebenaran tanpa menyertai dengan pelarangan kebatilan.
Seorang ikhwan mengabarkan bahwa
saat di Maladewa, Abu Nuh tidak dapat bekerja di satu perusahaan dalam waktu
yang lama, sebab setiap profesi yang ia coba geluti, dirasakannya membuat ia
jauh dari Diinul haq. Ia lebih memilih cintanya kepada Ar-Razaaq,
daripada terus bekerja dengan iming-iming gaji yang tak sedikit.
Pun cerita lain disampaikan seorang ikhwan,
bahwa selama di Maladewa, Abu Nuh tiada henti mencari jalan agar dapat
bergabung dalam jihad fii sabilillah. Saat itulah, ikhwan ini
mengetahui bahwa inilah sosok Muslim yang dengan tulus merindukan ruh jihad
dari benaknya yang paling dalam, bukan sekadar semangat hiasan bibir. Bahkan ia
mengatakan bahwa Abu Nuh sengaja bekerja keras mengumpulkan uang untuk biaya
berangkat berjihad, bergabung dengan Mujahidin. Ia begitu ikhlas lillahi
ta’ala memenuhi undangan jihad dan Allah benar-benar memanggilnya.
Begitulah pertimbangan kami saat menyambut semangat jihadnya, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Maka setelah tinggal di Maladewa
beberapa lama, ia putuskan berangkat ke Suriah menjemput syahid, dan saya
mengikuti jejak jihad beliau. Kala itu, isteri Abu Nuh sudah masuk waktu
persalinan anaknya yang kedua, tepatnya minggu kehamilan terakhir.
Sementara, Abu Nuh tak kuasa menolak
pintu jihad yang telah terbuka di hadapannya, setelah sekian lama ia berupaya
menemukannya. Ia pun perteguh tekadnya dan memilih cinta Allah di atas cintanya
akan buah hatinya yang segera terlahir ke dunia, sejalan firman Allah:
قُلْ إِن كَانَ
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي
سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya: “Wahai Muhammad,
katakanlah kepada kaum mukmin: “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian,
saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kerabat-kerabat kalian, harta
kekayaan yang kalian peroleh, perdagangan yang kalian khawatirkan
kehancurannya, dan tempat-tempat tinggal yang kalian senangi, lebih kalian
cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad guna membela agama-Nya, maka
tunggulah turunnya adzab Allah menimpa kalian.” Allah tidak memberi hidayah
kepada kaum yang lebih mencintai kesenangan hidup di dunia daripada membela
agama-Nya.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Dan ia bukanlah golongan mereka yang
meminta izin untuk tinggal di rumah bersama keluarga di saat panggilan jihad
menjadi fardhu’ain.
Dimana Allah berfirman:
وَإِذَا أُنزِلَتْ
سُورَةٌ أَنْ آمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو
الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُن مَّعَ الْقَاعِدِينَ
Artinya: “Jika
sebuah surah Al-Qur’an diturunkan kepada kaum munafik agar mereka beriman
kepada Allah dan berjihad bersama Rasul-Nya, maka orang-orang munafik yang kaya
dan para tokohnya meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berperang. Mereka
berkata: “Biarkanlah kami tinggal di rumah bersama orang-orang yang tidak ikut
berperang.”” (QS. At-Taubah, 9: 86)
Demikianlah, ia tinggalkan segalanya
demi ridha Allah dan keluar dari rumahnya, menghadapi sebuah tahapan kehidupan
baru, sebuah jalan yang menanjak lagi sukar, penuh dengan kekejian fisik dan
kerasnya cobaan.
Hari saat kami berangkat menuju
bandara merupakan hari yang mencekam. Masa itulah krisis politik kian memuncak
dan sangatlah berbahaya bepergian dengan janggut sepanjang itu. Bahkan, di
perjalanan kami disergap gerombolan penyembah Dewi Kali, namun Alhamdulillah
kami tidak mendapat masalah dengan mereka. Beberapa ikhwah menyarankan
agar kami mencukur habis janggut di perjalanan sebelum sampai ke bandara.
Namun, Abu Nuh rahimahullah menolak saran itu dan mengatakan agar kami
tetap membiarkan janggut ini dan meneruskan perjalanan, in shaa Allah
tak akan terjadi apa-apa karena Allah menjaga kita. Maka kami teruskan
perjalanan dengan aman dan nyaman, tanpa ada ancaman apapun di bawah lindungan
Allah subhanahu wata’ala.
Sesampainya di bandara, Allah mudahkan kami
terbang, meninggalkan negeri yang sempat kami tinggali. Lantas Allah takdirkan
kami memasuki Suriah, setelah transit beberapa waktu di negara tetangga Suriah.
Demikianlah, Allah mulakan kehidupan jihad Abu Nuh dalam menjemput kesyahidan. Intanshurullah
yanshurukum.
Jalan
jihad Suriah
Di Suriah, kami melihat Abu Nuh
piaway menembak target dengan akurat, sesuai dengan apa yang digambarkan
Rasulullah sallallahu alayhi wasallam dalam sabdanya dalam riwayat Muslim,
“Sungguh, kekuatan ada pada menembak. Sungguh, kekuatan ada pada menembak. Sungguh,
kekuatan ada pada menembak.”
Di Suriah, Abu Nuh mensyukuri
kelahiran buah hatinya dengan aqiqah. Ia sembelih dua ekor domba dan itu
menunjukkan sebuah teladan betapa sigapnya seorang ayah dalam memenuhi hak
keluarganya.
Abu Nuh terbiasa terjun Ribat dan
selalu bergegas menuju medan perang. Ia sempat terluka sebanyak dua kali
sebelum mendapati lukanya yang terakhir sebagai penghantar kesyahidan. Lukanya
yang perdana terletak pada kaki, dekat lututnya. Saat itu ia terkena pecahan
bom yang menghunus dari arah kirinya. Dengan sabar ia menempuh masa penyembuhan
dengan penuh kerinduan atas turut Ribat kembali.
Lukanya yang kedua didapati satu
bulan sebelum kesyahidan. Saya tengah duduk di sebelahnya saat beberapa pecahan
bom melesat menghujam di kaki kanannya, tepat dibawah lutut. Namun, ia ingin
tetap pada posisinya sambil berkata, “Ini hanya luka kecil, saya tidak akan
kembali,” sampai akhirnya ia terpaksa harus kembali ke markaz bersebab
pendarahan yang tak terkendali. Demikianlah upaya Abu Nuh berkuat hati menahan
sakit, berani mengambi risiko perjuangan sekuat tenaga.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan:
Abu Hurairah mengisahkan, Rasulullah shalallahu’alaihi wassalaam bersabda, ” Siapapun yang terluka di jalan Allah, akan dibangkitkan di hari kiamat dengan lukanya mengeluarkan darah yang beraroma kesturi.”
Abu Hurairah mengisahkan, Rasulullah shalallahu’alaihi wassalaam bersabda, ” Siapapun yang terluka di jalan Allah, akan dibangkitkan di hari kiamat dengan lukanya mengeluarkan darah yang beraroma kesturi.”
Jihad
media
Sangat penting untuk diketahui,
bahwa karya jihadi Abu Nuh tak terbatas pada jihad qital di medan perang saja,
namun juga jihad pada media. Ia adalah seorang penyair handal. Begitu banyak
puisi-puisi jihad dan puisi keislaman yang telah ia tulis. Salah satu puisinya
yang tertuang indah berjudul “atheis“, sebuah puisi yang menjawab segala
bentuk gangguan seorang lawannya yang atheis di media online. Puisi
tersebut ditulis dalam bahasa Maladewa yang dinyanyikan ikhwan lain dan
tersedia dalam bentuk online dalam judul “Ilhaad“, yang artinya
atheisme.
Saat pertama kali menginjakkan kaki
di Suriah, Abu Nuh merekam suaranya mendendangkan sebuah puisi yang ia
sampaikan khusus untuk ibunda tercinta, sarat akan nilai dasar-dasar Islam dan
mengabarkan bahwa putranya sedang ada pada jalan kebenaran, menggapai ridha
Ilahi. Puisi tersebut juga tersedia di internet dengan judul “Loabiva Mamma
ah” yang artinya “teruntuk ibunda tercinta”. Kami hadir bersama Abu Nuh
saat ia merekam puisi emosionalnya. Betapa nampak perjuangannya bermusikalisasi
puisi (tanpa instrumen) sambil menahan air mata saat menyebut ibundanya.
Siapapun yang mendengarkan puisi itu akan menemukan bahwa apa yang kami
gambarkan di sini adalah nyata.
Ia memiliki banyak puisi yang ia
dendangkan sendiri dan sebagian sudah dirilis atau disimpan dalam bentuk
rekaman suara, sementara yang tak terhitung lainnya menunggu dibunyikan,
terabadikan dalam buku catatannya, membisu dalam kebermaknaan.
Satu kelebihannya yang lain adalah semangatnya yang menggebu dalam menebar dakwah melalui wawancara dengan para ulama tentang pentingnya berjihad. Salah satu wawancara tersebut telah dirilis oleh media Mujahidin dengan judul “Faridatul Jihad”, dimana Syeikh Abu Abdullah al-Suri -presiden Dewan Syari’ah Kafarrumat- menjawab semua pertanyaan Abu Nuh.
Satu kelebihannya yang lain adalah semangatnya yang menggebu dalam menebar dakwah melalui wawancara dengan para ulama tentang pentingnya berjihad. Salah satu wawancara tersebut telah dirilis oleh media Mujahidin dengan judul “Faridatul Jihad”, dimana Syeikh Abu Abdullah al-Suri -presiden Dewan Syari’ah Kafarrumat- menjawab semua pertanyaan Abu Nuh.
Menjelang hari-hari terakhirnya, ia
sedang sibuk merencanakan kegiatan di media guna meningkatkan kesadaran Ummat
akan keutamaan dan pentingnya Jihad. Semoga Allah subhanahu wata’ala
mencatat semua amal sholih dan niatnya yang mulia.
Sebagai tambahan, saya ingin
mencatat bahwa berita kesyahidannya telah memberi pengaruh yang besar terhadap
dakwah. Hal ini begitu mungkin terjadi, seperti apa yang telah terjadi akan
kesyahidan Mujahid-mujahid terdahulu. Seperti dikisahkan bahwa Haram bin Milhan
telah ditikam dan semasa sekaratnya, ia berkata “Demi Tuhannya Ka’bah, saya
telah berhasil.” Lantas orang yang menikamnya bertanya keheranan, “bagaimana ia
bisa sukses, padahal saya membunuhnya?”, dan akhirnya jawaban demi jawaban
tentang kesyahidan menggiringnya memeluk Islam. Subhanallah.
Inti dari peristiwa tersebut adalah
bagaimana beruntungnya orang yang syahid seperti Haram bin Milhan, dimana ia
menampakkan kesabaran, keistiqamahan dan kecintaan akan syahid di jalan Allah.
Itulah yang menarik hati pembunuhnya sehingga terdakwahi dan menjadi faham akan
Islam.
Demikian pula dengan kesyahidan
saudara kita Abu Nuh dan Abu Turab, menyisakan indahnya sabar dan istiqamah
mencari syahid hingga apa yang didambanya sampai ke telinga kita, dimana
kehidupan abadi dihadiahkan Allah bagi mereka yang mati syahid. Kecintaan
terhadap Islam dan Jihad, hidup dan tumbuh dalam hati mereka. Dan kenyataan ini
dapat kita saksikan sendiri dampak dari kisah kesyahidan saudara-saudara kita
terhadap semangat para ikhwan saat ini.
Dengannya kita saksikan
terbarukannya semangat jihad para Mujahidin lewat mereka dan kita bermohon
kepada Allah untuk memberinya pahala yang baik. Sungguh, mereka telah
memberikan hidup atas perkataan-perkataannya lewat darahnya, dan melalui darah
dan kata-katanya mereka nyalakan kehidupan para ikhwah, melampaui kegelapan
dunia, bercelup dalam lautan Jihad, menuju janji Allah ta’ala akan indahnya Jannah.
Allahu Akbar!
Ketaatannya
dalam beribadah
Sebagai bentuk ketaqwaan Abu Nuh
kepada Allah, maka saya selalu melihatnya shaum sunnah setiap hari Senin dan
Kamis, kecuali saat ia harus minum obat karena sedang terluka. Pun ia selalu
menjaga wudhunya di saat ia batal wudhu, meskipun di tengah malam pada cuaca
musim dingin dimana air bak es batu yang menggigit. Tak hanya itu, ia tetap
berwudhu meski ia sedang sakit dan tak dapat berjalan sendiri akibat luka yang
parah.
Setiap malam ia shalat malam sambil
menangis, hingga tak kuasa ia terisak dan terdengar oleh ikhwan yang
lain. Saya suka meluangkan waktu untuk pura-pura tertidur di bawah selimut,
menikmati air mata sujudnya di atas sajadah yang berada di samping tempat saya
berbaring. Seorang ikhwan berkata, sulit sekali menemukan Abu Nuh shalat
Shubuh dalam keadaan tidak merajuk, penuh tangis kepada Allah. Ia bahkan
tak pernah meninggalkan shalat Tahajud meskipun ia tak mampu shalat
sambil berdiri.
Saat malam tiba, ia akan meminta
tolong kepada ikhwan untuk menaruh sebuah ember kecil berisi air suci
dan mensucikan di sebelah tempat tidurnya agar ia dapat berwudhu dan shalat di
atas pembaringan. Ia terbiasa menasihati ikhwan agar selalu mengingat
Allah dan tak ada yang tak terpengaruh perkataannya.
Dalam hal harta, ia sangat berhati-hati
saat menggunakannya. Ia tak akan mengeluarkan uangnya terkecuali untuk hal yang
sangat ia butuhkan dan ini tersirat dalam surat wasiatnya setelah Syahid.
Ia meminta uang yang ia tinggalkan digunakan di jalan Jihad dan dilarang
dihabiskan untuk hal selain itu.
Setiap malam sebelum tidur, ia
selalu membaca sesuatu dari telepon genggamnya. Entah apa yang ia baca, karena
hingga kini kami tidak menemukan apapun disana. Tentunya, jikapun ada, ingin
sekali dikabarkan disini, untuk kita jadikan pelajaran.
Di atas segala yang menjadi kebiasaannya,
menjelang keSyahidannya, para ikhwan mencermati beliau begitu
istiqamah dan khusuk dalam ibadahnya, lebih dari biasanya.
Semasa hidup, ia memiliki keinginan
yang kuat untuk menempati derajat yang tinggi di surga. Suatu hari, para ikhwan
saling mengungkapkan betapa mereka ingin lebih dulu menggapai keSyahidan
sebelum yang lainnya, lantas Abu Nuh berkata dengan santainya “saya tidak
keberatan apakah saya menjadi syuhada yang pertama atau yang terakhir, selama
saya menempati derajat yang lebih tinggi di Jannah daripada kalian,”
lalu semuanya tertawa.
Terhadap dirinya sendiri, Abu Nuh
begitu ketat. Ia selalu berusaha keras memurnikan tauhidnya, membaguskan
ibadahnya, dan memperbaiki amalannya yang keliru. Ia selalu ingin menyucikan
hatinya dari segala bentuk kebencian atau permusuhan atas para ikhwan, terkecuali
kebencian yang diridhai Allah. Pun atas kesalahan para ikhwan, ia begitu
pemaaf dan memaklumi kesalahan yang lain begitu tulus. Kami dapati sungguh
kesabaran Abu Nuh dalam pergaulan begitu luar biasa. Meskipun saat ia dalam
keadaan marah atau tersinggung, ia selalu menyegerakan tersenyum kembali dan
menghibur para ikhwah lagi.
Abu
Nuh vs. ahli bid’ah
Ia selalu membenci musuh Islam
dengan sangat. Salah satunya adalah kebenciannya kepada Jama’ah Al-Baqdadi,
dimana ia rela melawan perilaku bid’ah, kekejaman dan fitnah mereka
terhadap Ummat Islam.
Pada hari terakhirnya, ia berkata
kepada salah seorang ikhwan tentang bagaimana cara menuju wilayah Dar el
Zour sehingga dapat memerangi para ekstrimis Khawarij yang menyerang Muslim
Sunni setiap waktu. Perlu diketahui bahwa Jama’ah Al-Baqdadi adalah kelompok
yang selalu menentang semua inisiatif perdamaian yang diusulkan para ulama
independen, juga memusuhi para Mujahidin dan seluruh Ummat Islam. Mereka adalah
kelompok bughat (pemberontak pembuat makar) yang berpaling dari Ummat
Islam dan wajib dilawan hingga mereka kembali ke jalan yang benar, taat kepada
Allah.
Pada saat yang sama, mereka juga
menafikan semua institusi Syar’i dimana hakim-hakimnya berasal dari kaum
ulama Islam. Padahal dengan begitu, mereka benar-benar tergolong Thaifah
Mumtani’ah (kelompok yang menolak hukum syari’at), yang dengan kekuatannya
memerangi institusi-institusi Syar’i yang independen.
Dengan demikian, mereka patut kita
lawan menurut syari’at Allah. Namun, menurut politik syar’i, para pemimpin kita
tidak diijinkan melawan mereka terkecuali dalam rangka melakukan pertahanan.
Juga perlu dicatat bahwa Abu Nuh tidak ragu mengambil keputusan melawan mereka.
Tentu, bukan tanpa sebab dan penelitian yang mendalam akan fatwa para ulama,
maka ia berani mengambil keputusan perlawanan atas Khawarij itu.
Kebencian Abu Nuh tidak hanya
terhadap kaum takfiri saja, tetapi juga kepada semua sekte sempalan
Islam. Ia juga membenci para Muslim yang mengelu-elukan demokrasi, juga mereka
yang tergolong neo-Murji’ah, ahli bid’ah yang membuat-buat amalan baru
selepas kaum terdahulu (Salaf). (Silakan baca Al milaal wan
nihaal karangan Al-Syah Rastaniatau Gerakan Pemikiran dan Politik dalam
Islam oleh World Assosiation of Muslim Youth).
Mimpi
mendapat kabar gembira (bashiraan)
Baik Abu Nuh maupun banyak ikhwan
lain, telah mendapatkan mimpi indah tentangnya. Sayangnya, saat ini saya
sudah lupa beberapa mimpi itu. Namun, saya tetap akan memaparkan beberapa
diantaranya yang masih saya ingat, In syaa Allah.
Sebelumnya, saya tekankan bahwa
mimpi bukanlah sesuatu yang menentukan sebuah kebenaran (baca: kabar keSyahidan,
pent.). Sejatinya, kebenaran akan kebenaran baashiraan (kabar baik)
telah dimaktub dalam Qur’an dan Sunnah, seperti yang diyakini para Salaf (Muslim
pendahulu). Adapun “mimpi pertanda”, itu adalah bunga tidur yang dapat
ditafsirkan oleh seorang mukmin sebagai kabar gembira dari Allah saja, sesuai
janji Allah yang termaktub dalam Qur’an dan Sunnah. Di luar itu, mimpi tidak
berarti apa-apa.
Baiklah, mari kita hayati beberapa
mimpi mengenai Abu Nuh, baik yang dialami Abu Nuh sendiri, ataupun yang dialami
dan diceritakan oleh para ikhwan.
Pada bulan pertamanya di Suriah, salah
seorang ikhwan melihat Abu Nuh di dalam mimpinya sedang melaksanakan operasi
Syahid dan gugur sebagai syuhada disana. Lalu dalam mimpi itu, ia mengajak
ikhwan yang lain melihat jasad Abu Nuh dan mereka menemukan wajah beliau begitu
terang dan cerah. Kemudian mereka melihat kuburan dimana Abu Nuh dikebumikan,
disana seorang ikhwan mengucapkan salaam kepada Abu Nuh, dan beliau menjawab
salaam itu dari kubur. Maka ikhwan yang bermimpi turut mengucapkan salaam
kepada Abu Nuh, dan dibalas salaam olehnya seraya beliau berkata, “inilah
kehidupan yang sesungguhnya, saya sungguh bahagia. Maka berjihadlah dengan
ikhlash demi mardhotillah dan segeralah kemari, ke dunia dimana aku berada saat
ini.” [mimpinya berakhir]
Dan satu mimpi lain yang Abu Nuh
sendiri yang menyaksikan bahwa ia dan Abu Talha As-Suri digigit seekor
laba-laba. Abu Nuh digigit di kakinya. Lalu ia terbang ke udara, melawan orang
kafir dan membunuh banyak dari mereka dengan senapannya kemudian beliau mati Syahid.
Lantas ia melihat wajah orang-orang kafir begitu jelek dan legam. Namun wajah
Abu Nuh begitu putih benderang seraya bertanya kepada salah seorang kafir,
“apakah kamu mati?”, orang kafir itu menjawab, “Saya mati begitu pula kamu.”
Tetapi Abu Nuh melihat wajahnya sungguh cerah dan putih, sementara orang kafir
itu begitu hitam legam. Dan Abu Nuh melihat janggutnya lebih pendek dari
sebelumnya. [mimpinya berakhir]
Abu Nuh berkata tentang mimpinya
(semasa hidup pada saat bangun) bahwa setelah ia melihat mimpi itu, ia dan Abu
Talha terluka pada pertarungan yang sama dengan Abu Nuh, dimana ia terluka di
kakinya, sesuai luka mereka berdua akibat gigitan laba-laba yang tergambar pada
mimpinya. Dan beberapa hari setelah itu, janggut Abu Nuh terbakar setengah
janggutnya akibat kecelakaan, lalu ia berkata, “dua hal yang saya lihat dalam
mimpi telah menjadi kenyataan (gigitan laba-laba dan janggut yang memendek),
maka barangkali kali berikutnya akan menjadi keSyahidanku.” Dan betul
sekali, belum sebulan setelah itu, ia menjadi Syuhada. Ketiga hal yang
disebutkan dalam mimpi itu terjadi dalam rentang waktu satu bulan, dan beliau Syahid
dalam keadaan janggut yang pendek serta kaki yang baru sembuh dari luka. Subhanallah.
Abu berkata tentang mimpi ini (dalam
kehidupan nyata, semasa ia masih hidup) bahwa setelah mimpinya yang lain, ia
sedang memerangi orang kafir dan ia berada di dalam sebuah gedung. Kemudian
sebuah misil mendarat di gedung itu dan ia merasakan di sebelah kanannya ucapan
“laa ilaaha illallah” dan ia Syahid. [akhir mimpinya] Dan ini lah yang
terjadi pada kehidupan nyata, seperti kami ketahui bahwa pada detik-detik
terakhir hidupnya, Abu Nuh sedang berada dalam sebuah gedung melawan orang
kafir, dan saat ini gedung itu sudah rata dengan tanah, dimana Abu Nuh
terbaring disana, dihujani bom bertubi-tubi oleh tentara kafir.
Dan satu mimpi juga pernah ia alami
saat masih di Maladewa, yakni ia berangkat ke “Arab Saudi” dan melihat
orang-orang disana seperti kera, kemudian ia pergi ke tempat lain dimana disana
terdapat dinding-dinding yang tinggi dengan lukisan Islami di atasnya. Ia mersa
sangat senang dan puas saat berada di tempat itu. Kemudian ia berjalan
menyusuri sebuah jalur yang disediakan di tempat itu hingga ia tiba di sebuah
tempat yang indah dan ia melihat gerbang-gerbang yang besar dan di dekatnya ada
pria-pria tampan berjanggut panjang. [akhir katanya]
Saat ia tiba di Suriah pada
kehidupan nyata, pernah ia menunjuk ke arah dinding-dinding di Suriah dan
berkata bahwa itulah dinding yang ia lihat di mimpinya. Maka dapat dipastikan
bahwa jalan yang ia lalui di mimpinya adalah jalan jihadnya yang ia tempuh di
Suriah, hingga ia meraih Jannah. Allahu akbar.
Begitu pula dalam mimpinya yang lain
ia melihat Rasulullah sallallahu alayhi wasallam tiba, maka ia bergegas
untuk menjumpai beliau dan ia melihat orang-orang berkerumun di satu tempat
lain di lain tempat yang ia akan tuju sebelumnya. Maka ia pergi melihat apa
gerangan yang sedang terjadi dan ia temukan Rasulullah sallallahu alayhi
wasallam berada di tengah-tengah kerumunan orang-orang itu, terhimpit
kerumunan. Lalu saya bersalaman dengan Nabi. Abu Nuh kemudian mencoba
mengatakan sesuatu tetapi ternyata salah ucap hingga Rasulullah sallallahu
alayhi wasallam tertawa. Kemudian Abu Nuh adalah cahaya berpendaran dari kedua
kakinya, dekat kedua lututnya. [akhir perkataanya]
Seorang ikhwan memberi tahu
Abu Nuh bahwa mungkin itu pertanda dari kedua luka di kakinya di dekat lututnya
dan itulah sumber dari keampunan Allah kepadanya. Abu Nuh mendapatkan mimpi itu
saat ia masih berada di Maladewa.
Pada mimpinya yang lain. Abu
Nuh melihat sekumpulan singa dan ia melihat dirinya melawan seorang musuh di
samping Rasulullah sallallahu ‘alayhi wassallam. [akhir perkataannya]
Dan sehari setelah keSyahidannya,
putra Abu Nuh yang masih berusia empat tahun terbangun dan berkata kepada
ibunya, “Ayah saat ini sedang tidur di langit, betul kan?” Padahal saat itu,
sang anak belum mendapatkan kabar tentang keSyahidan ayahnya.
Selain itu, selepas keSyahidan
Abu Nuh, ibunya bermimpi bahwa ia berada di sebuah tanah tandus bersama
keluarganya. Di tengah tanah itu terdapat sebuah tambang dan Abu Nuh keluar
dari sana. Sepupunya memegang tangannya dan mengangkatnya ke atas. Lantas
isteri Abu Nuh berdiri disana, bertanya kepadanya, “bagaimana engkau bisa ada disini?”,
kemudia ia menjawab “dengan bergelantung pada sesuatu.” Kemudian isterinya
bertanya lagi, “untuk apa?”, kemuadian ia tersenyum dan membalas dengan sebuah
tanda cinta kepada isterinya. Saat itu, ibu Abu Nuh berlali menghampirinya dan
mencoba memeluknya, lalu Abu Nuh menjawab, “Ibu, saat ini aku sangat tidak rapi
dan berlumuran darah. Saya pergi sekarang.” [mimpinya berakhir]
Komentar dari sang ibunda atas
mimpinya bahwa Abu Nuh memang tidak rapi namun berpakaian serba putih. Bajunya,
janggut panjangnya, rambut dan semuanya berwarna putih. Dan ia menambahkan
bahwa Abu Nuh tersenyum menggoda dalam mimpinya.
Dan masih banyak lagi mimpi tentang
Abu Nuh yang (maaf) telah saya lupa saat ini, seiring bergulirnya waktu. Namun,
selama bulan pertama kami di Suriah, saya pernah berpikir bahwa Abu Nuh
barangkali akan menjadi Syuhada pertama dari kelompok kami, karena mimpi
indah tentang keSyahidannya begitu sering dialami kami dan ia sendiri
sejak petama kami tiba di bumi Suriah.
Mencari
Syahid
Satu bulan sebelum keSyahidannya,
Abu Nuh bersama ikhwan lain telah pergi menjumpai Syeikh Abu Sulaiman
Al-Muhajir hafidahullah (anggota Dewan Syari’ah Jabhah Nushrah), meminta
ia mendoakannya kepada Allah saat namanya terdaftar dalam operasi Syahid.
Ia bahkan meminta Syeikh untuk menyebutkan tanggal oprasinya dalam doanya.
Berkenaan dengan ini, Syeikh Abu
Sulaiman pernah merilis sebuah twitt setelah keSyahidan Abu Nuh,
yakni “ia datang padaku beberapa hari lalu, rahimahullah memintaku untuk
mendoakannya agar ia Syahid pada operasi yang ia telah daftarkan. Ia
meneriakkan Syahadat dan datanglah kesyahidan.”
Dan pada hari keSyahidan
menyentuh jasad Abu Turab dari Maladewa, Abu Nuh turut pula menjadi syuhada.
Pada hari itu, Abu Nuh beradu argumen dengan Abu Turab, “saya mendaftarkan diri
lebih dulu untuk ikut operasi Syahid, maka tidaklah adil kalau engkau Syahid
lebih dulu dariku.” Dan sungguh, pada hari itulah keduanya Syahid dengan
selisih waktu beberapa jam saja.
Pekik
kesyahidan
Minggu, 25 Mei 2014, setelah Shubuh,
empat orang syuhada mencium bumi, saling menjemput kesyahidan setelah
ledakan demi ledakan bergema di seluruh wilayah itu. Abu Turab Syahid
dalam keadaan bershaum. Turut setelahnya, Abu Nuh Syahid dalam Iqtiham
(menghujani musuh dengan serangan bertubi-tubi). Kala itu masih pagi buta dan
mereka belum ada yang sarapan. Mereka memerangi musuh tanpa takut, dalam jarak
yang begitu dekat, merebut gedung demi gedung dari tangan musuh.
Abu Nuh sempat berkata bahwa ia akan
memerangi musuh kafir dengan penuh semangat dan keberanian. Sebagai contoh, ia
dengan semangat membara dan keberanian menjatuhkan dirinya ke tanah dekat
posisi musuh dan menghujani mereka dengan tembakan AK-47-nya. Ia juga mengambil
peluru-peluru dari mayat musuh dan membagikannya kepada para ikhwan. Menurut
para ikhwan yang kembali dengan selamat, pertempuran saat itu merupakan
operasi paling membahayakan dari pertempuran-pertempuran sebelumnya.
Abu Nuh dan beberapa ikhwan memasuki
sebuah gedung. Alhamdulillah mereka dapat menguasainya dan bersemangat
untuk merebut gedung yang lainnya lagi. Namun, tanpa diketahui, akibat
kerepotan yang biasa dialami di medan tempur, ternyata Abu Nuh masih berada di
dalam gedung. Padahal telah diumumkan di depan gedung bahwa semua harus
meninggalkan tempat itu, namun tidak ada yang merespon. Selang beberapa jam,
para ikhwan menyadari ada satu rekan yang hilang. Saat mereka hendak
menjemput kembali Abu Nuh, gedung itu telah hilang, rata dengan tanah. Semua
gedung di area itu telah hancur akibat pengeboman yang bertubi-tubi. Abu Nuh
telah syahid.
Ia menjadi syuhada, membuktikan
ucapannya sebelum berangkat menuju medan tempur, “saya tidak akan kembali
lagi setelah hari ini. Saya tidak mengharapkan wafat saat tugas berjaga markaz,
saya ingin syahid saat menembaki musuh di garda depan.”
Demikianlah yang dapat kami
kumpulkan dari kisah kehidupan seorang pria hebat, dimana tiada keadilan dapat
hadir dari perkataan yang tak bernilai dan dimana tak seorang pun dapat
terlepas dari kesalahan. Air dalam jumlah yang banyak tentu tak dapat menjadi
kotor akibat setitik noda yang menetes di atasnya. Pria-pria hebat tak akan
dicelakai oleh kesalah-kesalahan kecil. Kami bermohon kepada Allah untuk
menerima Abu Nuh dan Syuhada lainnya di tingkat tertinggi Jannah dan
tidak mengurangi pertolongan-Mu kepada kami yang mengemis pertolongan hanya
kepada Engkau.
Sungguh ikhwan kami tercinta
telah mengalahkan kami meraih kesyahidan lebih dahulu dan kami bermohon kepada
Allah agar menyertakannya bersama orang-orang terdahulu yang dekat dengan-Mu.
Dan kami bermohon kepada Allah agar menganugerahi kami kesyahidan, keikhlasan
berjihad fii sabilillah, demi mardhatillah tanpa berbalik
kembali, di atas Aqidah dan Manhaj Rasulullah sallallahu alayhi wasallam,
terbebas dari bid’ah dan syirik.
Ditulis
oleh
Abu Dujanah Al-Maaldifi
01 Juni 2014
Abu Dujanah Al-Maaldifi
01 Juni 2014
Bilad
Al-Sham Media (Maldivians in Syria)
@BiladAlSham_Dhi
@BiladAlSham_Dhi
Diterjemahkan
Oleh:
www.arrahmah.com
www.arrahmah.com
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar