Selasa, 06 September 2016

Sebelum menjemput Syahadah (in syaa Allah) di bumi Syam, Ridwan bermimpi dijemput bidadari surga



(Arrahmah.com) – Ridwan Abdul Hayyie rahimahullah, usianya baru 22 tahun saat ia Syahid (in syaa Allah) di bumi Syam. Ia merupakan putra keenam dari pasangan Ust. Abu Muhammad Jibriel dan Ummi Fathimah Zahrah. Mungkin tidak banyak orang mengenalnya, tetapi semangat dan ketaatannya kepada Rabb-nya bisa menjadi pelajaran untuk para pemuda Muslim.
Disaat banyak pemuda yang memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan dunia, Ridwan tidak ragu untuk meninggalkan kehidupannya yang nyaman dan melangkah menuju medan Jihad di bumi Syam yang diberkahi. Ia berangkat ke Suriah pada tahun 2014 sebagai relawan kemanusiaan, hatinya tergerak untuk membantu meringankan beban kaum Muslimin yang tertindas di sana.
Ridwan Abdul Hayyie rahimahullah bersama Abah dan Ummi
Sekitar satu tahun Ridwan berada di Suriah, Allah memanggilnya dan memilihnya sebagai Syuhada (in syaa Allah) yang gugur dalam pertempuran untuk membebaskan kota Idlib, ibukota provinsi dengan nama yang sama.
Berikut ini adalah tulisan yang ditulis oleh kakak kandung Ridwan Abdul Hayyie rahimahullah, Muhammad Jibriel Abdul Rahman, sebagai ungkapan kerinduan kepada adiknya tercinta. Tulisan ini kami ambil dari halaman Facebook Muhammad Jibriel Abdul Rahman:
Aku ingin bercerita sedikit tentang detik-detik sebelum kesyahidan adik tercinta, Ridwan Abdul Hayyie (rahimahullah) yang menjemput syahadah (In syaa Allah) di bumi Syam. Beberapa hari sebelum beliau tertembak peluru tank rezim Bashar Asad dibagian kepala, dan hanya menyisakan tubuh yang utuh tanpa kepala, ada cerita yang sangat menarik dan indah yang perlu diceritakan, agar kita semua bisa sama-sama merindukan syahid dijalan Allah satu saat nanti.
Sebelum Ridwan berangkat dalam barisan pembebasan kota Idlib, selain menjadi seorang relawan kemanusian, beliau juga ikut berpartisipasi dalam melawan rezim Syiah Nushairiyah Bashar Asad laknatullah alaihim. Ridwan adalah satu sosok yang sangat dicintai oleh adik-adiknya dan kakak-kakaknya dan para sahabatnya. Diusianya yang sangat muda, beliau sudah menghafal Al-Qur’an dan suaranya sangat merdu. Keseharianya sangatlah ceria, supel dan pintar bergaul, siapa saja yang kenal Ridwan, pasti akrab dan menjadi teman, seperti namanya Ridwan, Malaikat penjaga Surga, dimanapun ia berada, ia menjadi surga buat sahabat-sahabatnya.
Ridwan semasa hidupnya bersama anak-anak syam
Ridwan, sebelum keberangkatannya sebagai relawan ke bumi Syam, beliau sudah bermimpi beberapa kali akan gugur syahid (In syaa Allah) di bumi Syam. Mimpi-mimpinya selalu saja di ceritakan kepada ummiku tercinta, ummi Fathimah Zahrah. Sampailah satu ketika dia meminta izin kepada abah dan ummi untuk berangkat ke bumi Syam untuk membantu kaum muslimin sebagai relawan kemanusian. Namun kondisi perang semakin berkecamuk, seluruh relawan diizinkan membawa senjata untuk berjaga-jaga dan menjaga diri dari serangan musuh.
Saat keberangkatan mengantar Ridwan, aku tidak ikut rombongan ke bandara. Dalam benakku, Ridwan akan kembali lagi ke Indonesia, untuk melanjutkan kuliahnya. Yang mengantarnya ke bandara adalah ummi, abah, dan adik-adikku. Tak ada yang menyangka kepergiannya saat itu adalah kepergiannya untuk selama-lamanya, Innalillahi waa inna inna ilaihi rojiun…
Namun, berbeda dengan kami, ummi, seorang ibu yang sangat penyayang dan sangat mengerti setiap perasaan anak-anaknya. Ummi itu adalah ibu terhebat dimuka bumi, saat suaminya dipenjara bertahun-tahun, ummilah yang setiap minggu menjenguknya selama bertahun-tahun karena kecintaanya kepada abah. Ketaatan ummi kepada abah membuat ummi menjadi ummi yang hebat, bahkan satu ketika ummi mau makan es krim saja minta izin dahulu ke abah saat abah di Mekkah. Ummi adalah wanita yang membesarkan kami dengan penuh kasih sayang dengan jutaan ujian dan airmata, tapi tidak pernah mengeluh. Hasil dari didikan itulah, kami menjadi manusia-manusia pemberani, tak pernah takut siapapun, kecuali Allah. Abah ditangkap, anak-anaknya dipenjara termasuk diriku, bertahun-tahun dengan penuh kasih sayang dia menjengukku setiap minggu selama bertahun-tahun tak pernah lelah. Begitu juga Ridwan, ummi sangat sayang dia, karena sebelum kepergian Ridwan, hari-hari ummi selalu saja penuh canda tawa dan bahagia karena Ridwan, anak shalih yang luar biasa, apapun yang diperintahkan abah dan ummi, Ridwan tak pernah membantah, permintaan abah untuk kemana saja sekolah tak pernah ia bantah, Ya Rabb ya Rahman, mungkin karunia Allah berupa kesyahidan itulah bentuk dari ketaatanya kepada orang tua. Ma syaa Allah.. wallahu a’lam bi ash showab.
Saat dibandara, saat ummi memeluknya dengan erat, saat ummi menciumnya, ummiku tercinta sudah tau, batinnya sudah mengerti, bahwa anak ini tidak akan kembali lagi ke tanah air. Ummi tau, bahwa anaknya Ridwan akan meninggalkan dunianya untuk bertemu sang Khaliq, Allah jalla wa’ala. Impian Ridwan adalah syahid di medan juang fi sabilillah, itu bukanlah impian dia sendiri, itu adalah impian aku, kamu dan kita semua. Karena, diakhir zaman ini, karunia berupa kesyahahidan dijalan Allah adalah hal yang sangat langka, tak semua manusia bisa dikaruniakan hal tersebut. Karena kematian dijalan Allah adalah karunia terindah ummat manusia yang beriman kepada Allah dan berjuang dijalan-Nya.
Hari-hari pun silih berganti, siang bertemu malam, malam bertemu siang, bintang-bintang dilangit terlihat disaat malam, mataharipun terbit disaat pagi, Subhanallah, sungguh indah nikmat yang Allah karuniakan untuk kita, begitu juga untuk adindaku Ridwan. Di bumi Syam saat itu musim dingin, beberapa foto yang Ridwan kirimkan bersama anak-anak Suriah bermain salju, dingin yang menusuk jiwa, unggun api menghangatkan, perjuangan Mujahidin diperbatasan ditemani angin sepoi-sepoi, Subhanallah.
Perang terus berlanjut, tidak kenal hari dan musim, banyak kaum Muslimin yang gugur akibat agresi kaum kafir durjana dan antek-anteknya. Peran Ridwan saat itu adalah membantu kaum muslimin Syam jika membutuhkan makanan dan kesehatan dan hal-hal lainnya. Sebelum perang terjadi saat pembebasan kota Idlib, Ridwan dan teman-temannya sudah bersiap, jika pecah perang dalam pembebasan kota Idlib, dimana banyak kaum muslimin yang harus dibebaskan, beliau sudah berniat untuk berpartipasi bersama Mujahidin Syam.
Ada cerita yang sangat menarik, sebelum terjadinya peperangan dalam pembebasan Idlib, sehari sebelumnya. Ridwan bercerita kepada temannya, bahwa beberapa malam sebelum pecah perang, beliau bermimpi bertemu bidadari yang sangat cantik.
“Bidadari yang sangat cantik menjemputku,” ujar Ridwan kepada salah seorang komandan yang juga sahabatnya bernama Mu’taz. Kisah ini tak pernah ia ceritakan kepada siapapun selain komandan yang memimpin beliau, alasannya agar bisa menjaga keikhlasan dan menjauhi dari kesombongan. Ma syaa Allah, anak yang benar-benar shalih…ya Allah…
Di siang harinya, Ridwan mengajak sahabatnya untuk memangkas rambut, lalu Ridwan berceletuk canda kepada sahabatnya, “Aku ingin motong rambut nih, persiapan untuk ketemu bidadari”. Allahu Akbar! Mau siapkan diri ganteng-ganteng buat ketemu bidadari Surga, bukan dunia…ya Allah adikku tercinta.
Sahabat Ridwan saat itu juga mengajak beliau untuk ke warnet untuk memberi kabar kepada keluarga, namun jawaban Ridwan sungguh mengejutkan, beliau mengatakan tidak mau menjawab pesan apapun agar abah, ummi, dan saudara-saudaranya semakin kangen kepadanya.
Hampir satu bulan tidak ada kabar dari Ridwan, sampailah perang pembebasan Idlib terjadi, saat itu dalam benakku berkata, mana kabar adindaku tercinta ini? Apakah dia telah syahid? Hatiku semakin gelisah, tidak ada kabar berita, bumi Syam terus diserang oleh jet-jet tempur Bashar Asad dengan dibantu Amerika dan sekutunya. Sampailah satu ketika, disaat masih pagi, ada salah seorang yang menelponku, lalu ia memberi kabar.
“Bang, bang, Abu Omar…..,” ujarnya. Lalu aku menjawab: “Abu Omar siapa dan kenapa?” Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan: “Abu Omar, Ridwan. Beliau telah Syahid (in Syaa Allah) saat pembebasan Idlib.” Allahu Akbar!
Aku terdiam sejenak, airmataku tiba-tiba menetes, entah karena sedih atau bahagia, tapi saat itu aku benar-benar menangis, tidak bisa menahan airmata ini, ya Rabb.
Langsung kuhubungi ummiku tercinta, lalu mengatakan: “Ummi, ummi jangan terkejut ya.”
“Iya, kenapa? Kenapa Ridwan,” jawab ummiku saat itu.
Aku sempat terpaku sesaat, “anak ummi tersayang, Ridwan sudah mendahului kita ummi, Ridwan Syahid (In syaa Allah).”
Ummi masih tidak percaya, dan tidak ada yang percaya waktu aku memberitahukan hal tersebut, namun aku mendengar tangisan ummi di seberang sana. Saat itu kami menangis bersama, meskipun aku masih bisa memberikan kalimat-kalimat agar ummi bersabar.
Saat syahidnya Ridwan, aku sedang sakit, entah kebetulan atau apa, aku sakit dan tidak bisa bangun, saat banyak jamaah berdatangan ke rumah abah dan ummi untuk ta’ziyah, aku hanya bisa duduk di depan layar laptop meluruskan pernyataan-pernyataan oleh media atas tuduhan bahwa adikku Ridwan terkait dengan ISIS. Alhamdulillah hal tersebut bisa diluruskan.
Begitulah sedikit kisah yang bisa kuceritakan, semoga menjadi kisah tauladan untuk kita semua. Ketaatan kita kepada orang tua membuat kita menjadi anak yang shalih dan shalihah serta menjadikan kita menjadi manusia-manusia hebat karena doa-doa mereka. Semoga Allah menjadikan kita semua orang-orang yang shalih dan shalihah, serta dikaruniakan meninggal dalam keadaan husnul khatimah dan dikaruniakan syahid dijalan Allah. In syaa Allah, aamiin.
Kata-kata Ridwan terakhir
“Perang tak perlu diundang, akan datang pada saatnya. Seperti kematian, tak pernah diundang, dia akan datang saat takdir Allah menentukan.”
Ridwan Abdul Hayyie -rahimahullah- 1993 – 2015
Wallahu a’lam bish showab
(haninmazaya/arrahmah.com)